Jika kita perhatikan kondisi pergaulan pemuda dan pemudi hari ini,
sebagian besar banyak yang memutuskan untuk menunda pernikahan mereka
dengan berbagai alasan. Terutama bagi laki laki, banyak yang menunggu
kehidupannya mapan dulu baru merencanakan pernikahan karena merasa jika
menikah terlalu dini khawatir tak mampu memberikan kehidupan yang baik
pada keluarganya kelak.
Biasanya rencana mereka adalah selesaikan kuliah
dulu, kemudian cari kerja dan berkarier di perusahaan kira kira 3-5
tahun, kemudian pelan-pelan mengumpulkan biaya untuk modal nikah dan
berumah tangga. Sehingga sebagian besar menikah diatas usia 25 tahun,
bahkan ada yang sampai diatas usia 30 tahun baru mulai merencanakan
pernikahan. Dan pemahaman seperti ini sudah umum dimasyarakat kita.
“Wahai generasi muda! Bila diantaramu sudah mampu menikah hendaklah ia nikah, karena mata akan lebih terjaga, kemaluan akan lebih terpelihara.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas’ud).
Kata “mampu” pada hadits di atas bukanlah berarti harus mapan.
Penekanan kata mampu pada hadits tersebut adalah kesiapan dengan penuh
tanggung jawab untuk memikul beban berumah tangga, siap secara konsisten
berikhtiar dalam memenuhi kewajiban dalam mensejahterakan keluarga.
Tidak ada keharusan harus memiliki penghasilan tetap, menduduki posisi
yang bagus di perusahaan, bergaji besar, punya rumah, kendaraan dan
seterusnya.
Jika kita mau jujur, persepsi yang terpatri dalam benak sebagian
pemuda kita hari ini adalah ukuran ukuran duniawi, yang akhirnya
menyulitkan langkah mereka sendiri menuju indahnya pernikahan, sehingga
tidak jarang mereka tanpa sadar telah membiarkan mata, telinga dan
kemaluan mereka tidak terpelihara.
Lebih menyedihkan lagi, persepsi ini juga masih menjadi sistem dalam
pemikiran sebagian dari para pemuda yang notabene saat ini telah
bertekat menginfakkan harta dan jiwanya di jalan dakwah. Alasan apalagi
kah kiranya yang membuat saudara saudara lelakiku sehingga masih menunda
pernikahan? Sementara jumlah akhwat yang semakin cemas dengan usia
mereka terus semakin panjang deretannya.
Di daerah saya tinggal saat ini (Bali) misalnya, sampai ada muslimah
yang meminta kepada seorang Ustadzah agar dinikahkan dengan siapa saja,
jika tidak dengan lelaki tertarbiyah (terbina), duda atau dijadikan
istri kedua pun bersedia asal lelaki itu adalah lelaki yang sholih. Hal
ini terjadi karena usia terus bertambah, mereka para muslimah itu sudah
berpenghasilan, namun tak kunjung datang juga lelaki yang sholih yang
meminangny. Para muslimah itu membutuhkan imam, pendamping hidup mereka,
mereka pun ingin seperti wanita sholihah lain yang bisa menyempurnakan
setengah agamanya dengan menikah.
Sepertinya pemuda-pemuda kita ini perlu diingatkan lagi tentang
bahaya keragu-raguan, was-was, dan kroni-kroninya. Itu semua adalah
bentuk dari tipu daya syaitan. Sebagai seorang pemuda yang telah
mentarbiyah dirinya, mestinya lebih siap dalam meng-upgrade kualitas
hidupnya. Setelah bertahun-tahun di tarbiyah (dibina,dididik dan
dilatih) dalam rangka memperbaiki diri menjadi pribadi berkarakter
islami, melalui proses islahul fardhi, bukankah semestinya
segera melanjutkan ke tahapan dakwah berikutnya dengan membina keluarga
muslim. Jika tahapan demi tahapan ini terus ditunda, berati kita juga
terus menunda terwujudnya cita cita kita membangun peradaban islami.
“Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan mengkayakan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberianNya) dan Maha Mengetahui.” (QS. An Nuur (24) : 32).
Tepiskan semua keraguan yang menggangu dari urusan duniawi, karena
firman Allah diatas telah dengan tegas memberikan jaminan pada mereka
yang dengan ikhlas menikah.
Hendaknya janganlah ukuran kekayaan dunia pula yang menjadi barometer
kita. Banyak kita temui di lapangan setelah awalnya berniat
mengumpulkan harta yang cukup dulu baru menikah, akhirnya terlalu asyik
bekerja malah lupa mencari calon istri sehingga membuat diri semakin
terjerumus ke lembah dosa.
Mereka lebih suka melakukan onani untuk
memuaskan syahwatnya dari pada menikah. Kembali lagi alasan belum
sanggup menikah meskipun sudah memiliki pekerjaan tetap namun masih saja
belum merasa mandiri.
Kasus ini pernah saya tangan sendiri, seseorang yang akhirnya
tertekan dan stress akibat pikiran kotor selalu mengganggu aktivitasnya.
Kebiasaan melakukan onani dan menyaksikan tayangan porno telah menjadi
sesuatu yang sulit ia tinggalkan. Sering setelah ia melakukan
perbuatannya ia menyesal, dan bertaubat berjanji untuk tidak
mengulanginya kembali.
Namun tidak lama setiap kali godaan datang,
diapun melakukannya kembali. Sampai satu hari seseorang itu mendapatkan
informasi keberadaan klinik yang saya kelola, dan ia meminta agar
dibantu untuk mengeluarkannya dari kebiasaan yang terus membuat dirinya
berputar-putar dalam lingkaran perbudakan syahwat.
Solusinya apa? Ya menikah.
“Dan diantara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir. “ (Qs. Ar. Ruum (30) : 21).
Efek negatif menunda pernikahan akan merusak mental. Namun, tidak
jarang para pemuda dan pemudi yang menunda pernikahan mereka, akibatnya
di kemudian hari setelah semua dijalani dan akhirnya merasa sudah
terlambat dan mulai menyimpulkan bahwa jodoh mereka jauh. Padahal Allah
berulang kali telah menunjukkan kesempatan dan peluang dihadapan
mereka, namun sering diabaikan. Akhirnya tidak sedikit diantara mereka
yang frustasi , depresi dan kehilangan percaya diri.
“Dialah yang menciptakan kalian dari satu orang, kemudian darinya Dia menciptakan istrinya, agar menjadi cocok dan tenteram kepadanya” (Al-A’raf 189)
Maka sebenarnya kebahagiaan, ketenteraman dan kualitas hidup kita
salah satunya adalah dengan hidup bersama dalam ikatan suami istri.
Bukanlah harta itu yang menentramkan tapi pasangan kita lah yang
menenteramkan. Karena dengan dengan menikah seorang lelaki akan terbuka
luas peluangnya untuk berbuat lebih banyak lagi kebaikan. Lebih banyak
sedekah, dan lebih cepat melaju menuju kedewasaan hidup yang
sesungguhnya dengan senantiasa melatih diri menjadi pemimpi yang baik
dalam menegakkan kebenaran dan mejauhkan keluarganya dari kemungkaran.
Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi pelindung (penolong) bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasulnya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah ; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (Qs. At Taubah (9) : 71).
Jika memang menunggu mapan. Kapan kira kira kita bisa memastikan
harus menikah? Bukankah kata mapan itu sendiri adalah hal yang tidak
jelas ukurannya? Sebagai contoh, ada seorang pemuda yang dipaksa menikah
oleh calon istrinya, dan ia menolak dengan alasan belum mapan. Namun si
calon istri tetap bersikukuh dan mengancam jika tidak menikah maka
lebih baik hubungan mereka di akhiri karena dirinya akan menikah dengan
lelaki lain.
Kemudian singkat cerita mereka pun menikah dalam keadaan
yang belum mapan. Setelah pernikahan mereka berusia lima tahun, ternyata
keadaan ekonomi mereka juga belum bisa dikatakan mapan, masih
biasa-biasa saja. Yang perlu kita renungkan kalau saja mereka tidak
menikah lima tahun yang lalu, bisa jadi sampai hari ini mereka belum
juga menikah, karena ekonomi belum juga mapan.
Sedangkan contoh-contoh lain juga tidak kalah banyaknya, sahabat
sahabat saya yang memutuskan menikah dibawah usia 25 tahun. Dan sampai
hari ini rumah tangga harmonis, semua berjalan dengan lancar, bisa
mendidik dan menyekolahkan anak, meski belum mapan secara materi.
Menikah berarti mendapat anugerah berupa perhiasan dunia terindah dari
Allah yaitu seorang wanita yang sholehah.
Dari Amr Ibnu As, Dunia adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasannya ialah wanita shalihat.(HR. Muslim, Ibnu Majah dan An Nasai).
Dan dalam riwayat yang lain :
“Dunia ini dijadikan Allah penuh perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan hidup adalah istri yang sholihah” (HR. Muslim)
Tantangan bagi para pemuda, segeralah menikah. Jika Anda belum
memiliki pekerjaan, maka bekerjalah dan tetaplah bekerja tanpa harus
memiliki pekerjaan tetap. Karena dengan menikah keberkahan dari Allah
akan terus belimpah, begitu pula dalam meraih pahala dalam beramal,
karena sesungguhnya amal seseorang yang sudah menikah sangat berbeda
dimata Allah dengan amalannya seorang bujangan.
Sabda Rasulullah SAW :
Shalat 2 rakaat yang diamalkan orang yang sudah berkeluarga lebih baik, daripada 70 rakaat yang diamalkan oleh jejaka (atau perawan) (HR. Ibnu Adiy dalam kitab Al Kamil dari Abu Hurairah).
Jika setelah menikah yang perlu Anda lakukan adalah terus
meng-upgrade kemampuan Anda untuk terus meningkatkan kualitas kehidupan
rumahtangga Anda, dan menambah penghasilan Anda. Rejeki Allah yang
menjamin.
Rasulullah SAW bersabda: “Nikah itu sunnahku, barangsiapa yang tidak suka, bukan golonganku !” (HR. Ibnu Majah, dari Aisyah r.a.)
Kalau kata seorang kawan : “jika masih muda belum menikah dan malas puasa, lalu siapa nabinya tuh?“
Rasulullah SAW. bersabda : “Seburuk-buruk kalian, adalah yang tidak menikah, dan sehina-hina mayat kalian, adalah yang tidak menikah” (HR. Bukhari).
Dalam riwayat lain :
“Diantara kamu semua yang paling buruk adalah yang hidup membujang, dan kematian kamu semua yang paling hina adalah kematian orang yang memilih hidup membujang “ (HR. Abu Ya’la dan Thabrani).
Semoga Allah senantiasa menjaga hati kita untuk senantiasa berada di
jalan keridhoan-Nya. Memilih sesuatu hanya karena Dia, siap menanggung
sesuatu yang telah digariskan-Nya. Mari senantiasa kita puji kebesaran
Allah dengan indahnya cara yang Allah berikan untuk menenteramkan hidup
kita, dan semoga kita tidak termasuk orang orang yang dikelabui oleh
tipu daya dunia.
sumber: http://fimadani.com/masihkah-menunda-pernikahan/
Efek Negatif Menunda Pernikahan Terhadap Mental, Kesehatan dan Akidah
4/
5
Oleh
onino mansah